Jika Aku Menjadi Menteri Pendidikan
Naskah Terbaik Kompetisi Esai Mahasiswa Menjadi Indonesia 2012
Oleh: Gigay Citta Acikgenc
Program pertukaran pelajar yang pernah saya ikuti dua tahun silam
meninggalkan jejak abadi di bilik memori. Hari-hari di sekolah yang saya
jalani selama satu tahun ajaran membuka pintu kesempatan untuk saya
merasakan perbedaan sistem pendidikan di Italia dan di Indonesia.
Pengalaman sekali seumur hidup ini sukses membuat saya mencetuskan
sebuah cita-cita baru: Menteri Pendidikan Republik Indonesia. Dan
setelah saya pulang ke tanah air, imajinasi posisi panglima tertinggi di
sektor pendidikan formal tersebut semakin tumbuh di benak saya.
Sekolah yang Menyenangkan
Tatkala saya menjadi murid di sebuah SMA negeri di kota Roma, ada
percik antusiasme yang membuncah sebelum saya berangkat ke sekolah.
Terpaan angin dingin bumi eropa setiap pagi ketika sedang menunggu bus
tidak menyurutkan semangat saya untuk hadir di ruang kelas. Kemampuan
bahasa Italia saya yang belum seberapa juga tidak menciutkan nyali saya
untuk mengikuti ujian lisan maupun tulis yang sebenarnya tidak wajib
mengingat sekembalinya saya ke Indonesia saya tetap akan mengulang kelas
tiga
SMA. Akan tetapi, mata pelajaran yang menarik serta sistem
evaluasi yang bebas dari model pilihan ganda mengaburkan kendala bahasa
dan cuaca yang menghadang saya.
Sesuai dengan usia saya yang
saat itu berumur 17 tahun, saya ditempatkan di kelas IV Liceo
Scientifico Stanislao Cannizzaro. Kelas IV disana setara dengan kelas 2
SMA di negara kita. Dan seperti yang tertulis di nama sekolah saya, saya
masuk di sekolah Ilmu Alam. Yang unik, selain belajar Matematika,
Fisika, dan Kimia, alokasi jam Sastra Italia, Sastra Latin, Sastra
Inggris, Filsafat, Sejarah, dan Sejarah Seni tidak dianak-tirikan. Tak
hanya kemampuan berhitung yang diasah, namun kami dilatih pula untuk
mengenal keping ? keping masa lalu yang acap kali di Indonesia tidak
diselami lebih dalam kecuali jika Anda mahasiswa Ilmu Sejarah.
Selama satu tahun tersebut, jendela wawasan saya diperlebar dan keran
pengetahuan yang terbuka dari berbagai disiplin ilmu membanjiri isi
kepala saya. Saya memaknai kutipan populer Carpe Diem di jam Literatur
Latin. Carpe Diem yang ditulis oleh Horace ? yang artinya adalah Seize
the Day ? mengingatkan saya untuk tidak menyia-nyiakan kesempatan hidup
yang saya dapat hari ini. Lalu, di sesi Literatur Italia saya
mengapresiasi fungsi moral dongeng Pinocchio dan Cinderella serta
menganalisis faktor internal novel abad 17 karya Robinson Crusoe di jam
Literatur Inggris. Saya juga membedah lukisan
School of Athens karya Michelangelo dan mencoba memahami filsafat politik dari pemikiran filsuf asal Britania Raya, John Locke.
Saya tiba di Italia dengan kemampuan berbahasa sebatas `Halo! Nama saya
Gea. Saya datang dari Indonesia'. Tiga bulan awal saya benar ? benar
merasa seperti alien. Ketika berada di kelas, menahan kantuk adalah
kegiatan utama karena saya sama sekali tidak menangkap materi pelajaran
atau obrolan yang sedang mereka bicarakan. Akan tetapi, seiring
berjalannya waktu, saya membuktikan sendiri keajaiban otak manusia dalam
beradaptasi dengan bahasa baru. Di bulan Desember 2011, saya mulai bisa
berkomunikasi dua arah dan memberanikan diri untuk mengikuti ujian
Literatur Italia dengan sub topik Il Purgatorio karya Dante.
Sepanjang satu tahun ajaran 2010/2011 itu, saya tidak pernah bertemu
ujian dengan soal pilihan ganda. Yang saya hadapi adalah selembar kertas
folio kosong. Saya tidak pernah menyilang jawaban, saya merangkai
jawaban. Apa yang saya dan teman ? teman pahami adalah yang akan kami
tuangkan dalam bentuk tulisan. Beruntung sekali para guru sangat
menghargai partisipasi saya setiap kali ada ujian. Mereka menilai ujian
saya berdasarkan perkembangan tata bahasa Italia saya. Apresiasi ini
pula yang membuat
saya berangkat ke sekolah dengan perasaan senang, bukan paksaan atau pun sebuah keharusan.
Letup Semangat yang Lenyap
Perbedaan kontras sangat terasa ketika saya kembali dan mengulang kelas
3. Jam sekolah yang tinggi, materi yang padat dan diujikan dalam bentuk
Ujian Nasional sebagai syarat kelulusan meredupkan percik api semangat
yang dulu pernah saya rasakan. Saya kehilangan waktu luang dan kebebasan
melukiskan pikiran dalam bentuk tulisan. Di Italia, saya hanya berada
di sekolah dari pukul 8.30 sampai pukul 13.30. Dan untuk lulus SMA,
murid ? murid disana diperbolehkan menulis apa saja dalam bentuk karya
ilmiah yang nantinya akan dipresentasikan. Host-brother saya kala itu
menulis tentang badut dan
kaitannya dengan karya pelukis Picasso.
Selain karya ilmiah yang bisa dipersiapkan di rumah, ujian di dalam
ruangan (sit-in test) juga diselenggarakan oleh pemerintah. Teman saya
menulis sebuah esai dengan tema you are what you eat (Kamu adalah apa
yang kamu makan).
Bukan berlebihan jika saya mengatakan
masyarakat kita hari ini adalah produk kurikulum nasional. Pendidikan
adalah salah satu faktor pembentuk karakter umum suatu masyarakat.
Meskipun ada perubahan, kurikulum dulu dan kini sebetulnya memiliki
napas yang sama: materi pelajaran yang membeludak, jam sekolah yang
tinggi, sistem evaluasi model pilihan ganda, dan ujian yang
terstandardisasi (standarised-test).
Kalau hari ini masih
banyak orang yang tidak malu melakukan tindak pidana korupsi, bisa jadi
karena pelaksanaan EBTA/EBTANAS sampai yang namanya diubah menjadi Ujian
Nasional tidak dianggap sebagai tempat bersemainya benih ? benih
generasi koruptif. Pelaksanaan Ujian Nasional yang rentan kecurangan
adalah rahasia umum. Banyak murid yang saking takutnya atau saking
malasnya akhirnya membeli soal dari pihak yang tak bertanggungjawab.
Karena mereka dituntut untuk memenuhi nilai minimum kelulusan,
tidak
semuanya mampu menomorsatukan kejujuran. Soal pilihan ganda yang
diujikan memudahkan para murid untuk menghalalkan praktik contek -
menyontek. Model evaluasi yang melihat nilai sebagai indikator kelulusan
dan keberhasilan siswa memproduksi peserta didik yang belajar dengan
berorientasi pada nilai (score-oriented), bukan berorientasi pada spirit
pembelajar sejati (learning-oriented) yang seharusnya menjadi landasan
setiap orang yang pernah mengecap pendidikan formal.
Karena
sifatnya berorientasi pada nilai, alhasil pola belajar - mengajar di
kelas mau tidak mau berfokus pada bagaimana nanti kami (baca: siswa)
bisa lulus Ujian Nasional. Akibatnya, yang kami pelajari di sekolah
adalah skill menjawab soal dengan cepat dan tepat. Dan yang dikejar oleh
para tenaga pengajar, kepala sekolah, dan Menteri Pendidikan adalah
kenaikan angka statistik kelulusan.
Introspeksi Diri
Parameter keberhasilan pendidikan nasional yang diukur oleh nilai batas
minimum yang mampu dilewati siswa adalah potret kesuksesan yang semu.
Buktinya semakin banyak orang yang bisa sekolah, berita tawuran
antarpelajar, demo mahasiswa yang berujung kericuhan masih santer
terdengar. Apa pasal ini bisa terjadi? Di kelas tidak ada cukup ruang
untuk melatih cara berkomunikasi yang santun melalui media diskusi tukar
opini. Dua jam mata pelajaran tidak cukup efektif untuk mempertajam
radar berimajinasi dan bereksplorasi.
Selama 12 tahun kami
dijejali soal ? soal yang tidak akan kami hadapi di kehidupan nyata.
Kami tidak dibekali cara berpikir kritis karena kami tidak dibiasakan
menulis. Dari ulangan harian sampai Ujian Nasional yang berbentuk
pilihan ganda tidak mendorong kami untuk mencintai riset pustaka alias
merangsang kami untuk gemar membaca. Sehingga, akhirnya tidak terbentuk
pola pikir yang kreatif dan berpikiran terbuka (open-minded) dalam
menyelesaikan masalah. Pengenalan pentingnya leadership (kepemimpinan)
dan entrepreneurship (kewirausahaan) ? Di sekolah ? sekolah swasta
mungkin dua hal ini
diselipkan. Akan tetapi, di sekolah negeri yang notabene untuk rakyat semua kalangan? Belum tentu.
Kita perlu berbenah. Sebagai lembaga negara yang memegang tongkat
kekuasaan, Kementrian Pendidikan Nasional harus tahu diri. Kita tidak
boleh mengabaikan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada Februari 2012
yang menyatakan bahwa jumlah pengangguran secara nasional pada Februari
2012 mencapai 7,6 juta orang dengan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT)
Februari 2012 sebesar 6,32 persen.
(sumber:http://www.pikiran-rakyat.com/node/203205 Selasa, 25 September 2012, 11.56 ).
Alokasi dana
APBN sebesar 20% jangan lagi digunakan untuk proyek yang tidak
berdampak langsung terhadap kualitas peserta didik. Sistem perekrutan
guru dan lulusan bergelar sarjana pendidikan wajib ditinjau ulang.
Belajar dari negara dengan sistem pendidikan terbaik di dunia,
Finlandia, guru ? guru disana merupakan lulusan dengan nilai yang
menduduki peringkat 1 sampai 5. Dengan model evaluasi berupa esai tentu
dibutuhkan kompetensi sumber daya manusia yang lebih mumpuni agar
tulisan yang dibuat benar ? benar dapat melihat sejauh mana pemahaman
siswa.
Jika Aku Menjadi Menteri Pendidikan
Saya ingin
merampingkan materi yang terlalu detil dan memotong jam sekolah yang
memakan waktu lama supaya percik api antusiasme yang pernah saya rasakan
juga hadir di setiap individu. Saya ingin sedari dini warisan budaya
seperti batik, wayang, upacara sakral, kesenian daerah diperkenalkan di
sekolah. Setidaknya jika ada yang mengklaim, kita tidak hanya berteriak
saling menyalahkan tetapi nyatanya kita tidak meruwat budaya Indonesia.
Saya bermimpi profesi guru kembali kepada hakikatnya
sebagai
pendidik, bukan sekadar pengajar yang hanya mempersiapkan siswa untuk
lulus ujian. Saya ingin nadi budaya baca ? tulis dan rasa ingin tahu
selalu berdenyut di pelosok pedesaan hingga jantung perkotaan. Saya
tidak mau institusi modern mematikan potensi berpikir kritis anak ? anak
hanya karena tidak ada yang memicu kebiasaan berargumentasi di ruang
kelas. Harapan saya pendidikan di tanah air tidak lagi menjadi ajang
transfer ilmu yang menjadikan murid adalah cetak biru sang guru. Peserta
didik harus mampu mentransformasi ilmu pengetahuan sehingga tujuan
akhir pendidikan untuk mencetak generasi yang mampu menjawab tantangan
zaman dapat tercapai.
Reformasi kurikulum hanya dapat
diwujudkan oleh orang nomor satu di jajaran aparatur Kementrian
Pendidikan Nasional. Saya belum tahu bagaimana caranya mecuri atensi
presiden agar kelak beliau bersedia mengamanahi saya posisi yang menjadi
poros utama penyelenggaraan pendidikan formal oleh negara. Akan tetapi,
paling tidak mulai dari hari ini saya telah menghimpun gagasan
perubahan yang layak diperjuangkan.
Dengan titel Ibu Menteri,
saya juga ingin mengajak masyarakat untuk menghapus citra `Anak IPA
lebih pintar dari anak IPS'. Nosi `Setiap Anak itu Unik' harus
disebarluaskan. Kelebihan di bidang olahraga, musik, seni rupa, jangan
lagi diremehkan. Orang tua harus diberi pencerahan bahwa nilai di atas
kertas bukan ukuran absolut keberhasilan anaknya. Ujian Nasional
digantikan oleh tugas akhir berupa proyek sosial atau karya ilmiah agar
siswa menyadari bahwa kesuksesan yang nyata tidak mendewakan angka
semata. Namun, berawal dari ketekunan dan kerja keras, bukan dari
tak-tik menjawab soal pilihan ganda dengan tangkas.
Imaji orang
yang terpelajar dinilai berhasil karena pencapaiannya dalam bentuk
materi; kaya raya, rumah dua, mobil merk ternama, harus pelan ? pelan
digeser menjadi imaji individu yang keberadaannya membawa manfaat
sebanyak ? sebanyaknya bagi sekitar.